Kamis, 21 Oktober 2010

Setetes Embun Cinta Niyala

Sebuah kisah pembangun jiwa ini sangat saya sukai,karena kisah ini sungguh menarik dan dapat dijadikan pembelajaran dalam memilih seseorang dalam kehidupan ini. sekilas saya tuliskan rangkuman ceritanya.
"Aku ragu ada dan tiadaku. Namun cinta mengumumkan : Aku ada!"
Siapakah yang mampu hidup tanpa cinta?
Perempuan manakah yang bisa membangun singgasana rumah tangganya tanpa cinta? Ia bertanya pada dirinya sendiri dengan hati pilu.
Tak ada! Jawabnya sendiri.
Kecuali, manusia yang hidup tanpa hati dan nurani, seperti pelacur yang biasa hidup nista dan mendustakan cinta.bahkan seekor merpati yang tiada dikaruniai akal pikiran menerima pasangan hidupnya atas dasar cinta. Tuhan menciptakan makhluk-Nya di semesta raya ini juga atas dasar kehendak dan cinta-Nya. Matahari, rembulan dan bintang bersinar karena cinta. Lautan menampung segala sisa dan kotoran yang mengalir dari daratan dengan penuh cinta. Sungai mengalir karena cinta. Angin bertiup karena cinta. Pohon berbuah karena cinta. Bunga-bunga bermekaran karena cinta. Lebah meneteskan madu karena cinta. Dan hidup ini pada asalnya adalah aliran cinta.
Sumbernya adalah samudera cinta Allah yang meliputi semesta. Dan segala benda dalam alam raya tunduk patuh menyembah Allah juga atas dasar cinta. bukankah kesejatian penyembahan dan kepatuhan itu terlahir dari kedahsyatan cinta? Lalu kenapa selalu saja ada yang mengusikhukum cinta?

Ia masih terduduk di atas sajadahnya, kedua matanya terpejam. Dari dua sudut matanya keluar tetesan bening seperti embun.
Oh, haruskah aku gadaikan hidupku ini? pasrah tercampak tanpa mimpi muia seperti pelacur hina yang kalah oleh nafsunya. Hampa, pahit dan getir tanpa cinta.
Pertanyaan-pertanyaan itu mencerca dan menusuk-nusuk ulu hatinya. merajam-rajam batok kepalanya. Sakit, nyeri, perih dan pedih. Air matanya meleleh.
Ia baca sekali lagi surat penting dari ayahnya yang dikirim dengan kilat khusus dari sidempuan. Surat yang membuatnya kehilangan gairah untuk hidup.

Ia memejamkan mata.
Sakit.
Seperti ada belati menghunjam ke dalam ulu hatinya.
Perih.
Seolah ada paku berkarat tertancap di batok kepalanya.
Tulang-tulangnya terasa ngilu bagaikan di remuk-remuk dengan palu godam. Dan langit seakan-akan runtuh menimpa dirinya. Ia merasa menjadi perempuan paling menderita di dunia. Bisakah ia menolak isi surat itu? mampukah ia melihat ayahnya hidup tanpa kemerdekaan?
Tidak! Tidak mungkin aku mau berlaku durhaka! jeritnya dalam hati.
Namun memenuhi isi surat itu dan menerima menjadi istri roger tak ada bedanya dengan hidup terhina dan sengsara selamanya.
"Oh celakalah diriku, aku akan melacurkan diriku dengan kedok pernikahan!" Ia meratap sedih. Ia belum bisa mengakui itu pernikahan, sebab tak ada nurani cinta dan keikhlasan yang mengiringinya. Bukankah pernikahan adalah ibadah? Dan bukankah ibadah harus disertai kecintaan dan keikhlasan agar diterima.
Ia terus tergugu sendirian di kamar, perang batinnya terus berkecamuk sampai alunan azan shubuh terdengar mendayu-dayu.

Sejak menerima surat dari ayahnya itu, Niyala tidak memiliki semangat hidup. Ia berpikir keras berhari-hari. Mencari-cari jalan keluar terbaik yang melepaskan dirinya dan ayahnya dari keadaan yang menyesakkan dada itu. Namun, tidak juga ia temukan. Ia yang harus berkorban, atau ayahnya yang harus ia korbankan dengan cara menolak mentah-mentah permintaan itu. Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya akan mudah baginya. Tapi dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Ia hanya punya tabungan dua juta itupun untuk di pinjamkan pada azizah, adik kelasnya, untuk membayar semesterannya.
Niyala termenung dikamarnya. sejak kedatangan surat itu. Ia jarang keluar kamar. Ia mengisolasi diri dari dunia luar.
Ia merasakan ada tangan lembut mengusap air matanya yang melelah dipipi.
"Ada apa anakku? Kenapa kau menangis? Umi lihat sudah empat hari ini kau tampak sedih danmemendam masalah. ada yang bisa umi bantu, anakku?"
Suara lembut itu menyadarkan dirinya. ia tergagap. ia mencoba tersenyum meskipun bibirnya teras kaku.
Kata-kata perempuan setengah baya yang ia panggil umi itu membuatnya tak bisa membendung air mata.Baginya umi tak ada bedanya dengan ibu kandungnya. Dari umilah ia merasakan kasih sayang yang luar biasa. Umi sebenarnya bukan siapa-siapa baginya.Umi adalah orang lain, umi adalah sahabat ibunya sewaktu di madrasah diniyah. Umi tidak mempunyai anak perempuan, beliau mempunyai satu putera yang bernama faiq. selama bersama umi ia tidak pernah mendapat bentakan dri umi, umi teramat sayang padanya. bahkan umi membiayai dirinya untuk masuk ke fakultas kedokteran.

Tiga hari lagi wisuda. Dua hri lagi ayahnya akan datang. Sinar matahari dhuha tak sehangat biasanya. Entah kenapa? bunga-bunga seperti layu. tak ada lagi gairah hidup yang ia rasakan entah kenapa?

"Niyala Anakku, mau ikut umi tidak?'
Suara lembut perempuan setengah baya yang amat dicintainya itu kembali menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa. Ia membalikkan badan perlahan. Mencoba tersenyum.
"kemana Umi?"
"Ke bandara."
"Ada apa?"
"Kakakmu Faiq pulang."
"Kak Faiq pulang?!" Ia kaget.
"He eh. Kaget ya?"
"Kok mendadak mi? Kenapa tidak memberi tahu jauh hari?"
"Umi yang minta dia pulang seminggu yang lalu."